Made Mangku, yang kelahiran Buleleng, tampak gundah oleh ulah para paedofil itu. Tanpa banyak wacana, ia meminta anak buahnya, Direktur Reserse Kriminal Komisaris Besar D.B.M. Suharya dan Direktur Intelijen Pengamanan Komisaris Besar A. Sitanggang membentuk gugus tugas (task force) khusus yang bertugas menangani kejahatan pencabulan terhadap anak-anak itu. “Apa pun akan saya lakukan untuk menghabisi para perusak masa depan anak-anak Bali itu,” ujarnya lantang.
Terlepas dari kedudukannya sebagai Kapolda Bali, dan tugasnya sebagai polisi, Pastika mengaku jengah membayangkan isu bahwa kemiskinan di beberapa wilayah di Bali Timur dan Utara dijadikan “pintu masuk” oleh para paedofil untuk menjerat anak-anak Bali –sebagaimana disampaikan pihak CASA. “Saya merasa malu membayangkan para paedofil itu menganggap Bali sebagai surga buat aktivitas mereka,” kata Kapolda yang namanya menjulang di dunia internasional saat menangani kasus bom Bali, Oktober 2002, itu.
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, dalam ”Laporan Perkembangan Penelitian Eksploitasi Seksual Komersial Terhadap Anak di Lingkungan Pariwisata 2004″, menengarai adanya sejumlah daerah tujuan wisata yang potensial menjadi belantara praktek paedofilia, antara lain Batam, Manado, Surabaya, dan Bali. Namun, di antara keempat tempat itu, di Bali-lah yang paling ramai ditemukan kasus paedofilia.
Keleluasaan para paedofil melakukan praktek seks menyimpang itu di Bali, kata Ketua CASA Prof. Dr. Luh Ketut Suryani, berhubungan dengan ketidaktahuan masyarakat, khususnya yang tinggal di daerah-daerah miskin, soal bahaya praktek itu buat masa depan anak-anak mereka. “Menurut hasil penelitian kami, sebagian besar pelaku paedofilia di Bali adalah turis asing. Namun kini kita tidak bisa meremehkan orang-orang lokal melakukan hal yang sama,” papar Suryani.