Praktik pedofilia di Indonesia mulai ramai dibicarakan sekitar sepuluh tahun terakhir. Pernikahan orang dewasa dengan anak di bawah usia pun sudah sejak dulu merebak dimana-mana. Meskipun kadang sulit dicari batasan apakah hal yang normal atau pedofilia. Beberapa kasus praktek kejahatan pedofilia mulai sering dilaporkan, khususnya dari aktivis LSM Perlindungan Anak. Apalagi dalam beberapa kasus yang terkuak para pelaku pedofilia itu adalah warga negara asing. Tidak heran di daerah-daerah wisata Indonesia yang sering dikunjungi wisatawan asing dijadikan surga praktik pedofilia. Biasanya mereka mengelabuhi anak-anak dengan memberikan uang, pakaian, makanan atau mainan secara berlebihan. Terkadang anak diangkat sebagai salah satu anak asuhnya dengan mengatasnamakan dirinya sebagai pekerja sosial LSM.
 


Pada tahun 1995 Kapolda Bali saat itu Irjen Pol Made Mangku Pastika mengungkapkan, hasil penyelidikan polisi menunjukkan, modus kaum pedofil warga asing dalam melancarkan aksinya, berpura-pura menjadi seorang donatur. Karenanya, Kapolda mengingatkan masyarakat Bali untuk lebih berhati-hati dalam menerima uluran tangan dari para anggota foundation yang belum jelas keberadaannya. Menurut Profesor LK Suryani, Direktur LSM Committee Againts Sexual Abuse (CASA) Bali menyatakan adanya petunjuk kuat bahwa kaum pedofilia telah menjadikan Bali sebagai salah satu daerah tujuan mereka. Terbukti dengan banyak beredarnya foto-foto anak-anak Bali di Internet. Bahkan kasus praktik pedofilia juga pernah terjadi di Lombok, Batam, Medan, Ujung Pandang dan Surabaya.

Dilihat dari berbagai bentuk karakteristik perbuatan kaum pedofilia bisa dikatakan anak-anak dieksploitasi sebagai korban. Anak-anak sebagai korban mestinya dilindungi dan memperoleh pelayanan khusus, terutama di bidang hukum. Secara juridis, pihak yang dituntut bertanggungjawab adalah eksploitatornya atau pelakunya. Selama ini undang-undang yang sering dipakai untuk mengadili penjahat ini adalah dengan KUHP Pasal 292 juncto pasal 64. Tentang Pencabulan. Tuntutan maksimalnya 5 tahun dipandang banyak aktivis perlindungan anak sudah tidak relevan untuk memberikan efek jera bagi si pelaku.

Akan tetapi hukum di Indonesia yang menjerat pelaku praktik pedofilia tidaklah serius. Sehingga hukuman bagi kaum pedofil seperti halnya Wiliam Stuart Brown (52 tahun) asal Australia tidak setimpal dengan yang telah diperbuat dan resiko rusaknya masa depan para korban. Bahkan Mario Manara (57 tahun) turis asal Italia yang terbukti melakukan praktik pedofilia hanya dijatuhi hukuman penjara kurang dari setahun. Brown William Stuart alias Tony, 52, terpidana kasus pedofilia, diputus menggunakan UU No 13/2002 tentang Perlindungan Anak. Kasus Tony, mantan diplomat Australia, boleh dikata merupakan kasus pedofilia kedua yang paling menggegerkan di Indonesia. Kasus Tony itu hampir menyamai “keganasan” si Robot Gedek pada pertengahan tahun sembilan puluhan. Hanya, kelebihan pada kasus Robot Gedek, sejumlah korban, yakni anak-anak usia belasan tahun tewas dibunuhnya.

Melihat kenyatan kehidupan sehari-hari ternyata banyak anak Indonesia yang sering dibaikan haknya demi kepentingan nista dari orang dewasa. Pedofilia adalah salah satu contoh memilukan terabaikannya hak anak Indonesia. Anak adalah nyawa tak berdaya yang tak mampu menolak paksaan, deraan dan trauma dari orang dewasa. Padahal anak adalah modal terbesar dan harapan masa depan bangsa ini. Kaum Pedofilis harus segera sadar, dengan kenistaan yang hanya memburu kenikmatan sesaat itu ternyata dapat menghancurkan anak seumur hidupnya. Semua lapisan masyarakat, institusi swasta dan instasi pemerintah harus bahu membahu tiada henti bekerjasama melawan dan melindungi anak Indonesia dari ancaman segala kekerasan terutama pedofilia. Para orangtua harus selalu waspada dan hati-hati terhadap singa berbulu domba seorang pedofilia.

Categories: Berita, Published